Golput termasuk cara menggunakan hak pilih

Alih-alih taat kepada pemimpin, ada pemuka agama yang mewajibkan umat untuk memilih salah satu calon legislatif. Bahkan, alim ulama dengan gegabah mengeluarkan fatwa haram jika umat tidak memilih. Sangat tidak rasional rasanya sebab para caleg bukanlah pemimpin, melainkan perwakilan. Lebih-lebih mereka hanya calon, dan belum benar-benar memimpin. Saya pikir tingkat keharaman golput tidaklah mutlak. Jadi, tidak wajib diikuti. Saya kuatir fatwa itu dikeluarkan untuk mendukung para pemuka agama yang mencalonkan diri menjadi legislatif. Oh! Betapa liciknya. Semoga saja tidak demikian.

Ada juga pernyataan begini, "Jadilah pemilih yang cerdas, jangan golput!" Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa memilih ada hubungannya dengan kecerdasan atau kadar kognitif. Hal tersebut sangat menyesatkan. Pernyataan yang benar adalah, "Orang cerdas adalah orang yang mampu membedakan mana yang harus dipilih." Jika kita tidak memiliki kepercayaan sedikitpun dengan para calon, maka kita tidak perlu memaksakan diri untuk memilih. Siapa yang mau menghukum jika kita tidak memilih? Pemerintah, presiden, atau para malaikat? Atau Anda kuatir golput akan memberikan dampak negatif terhadap kehidupan pribadi?

Golput termasuk hak asasi, atau hak berdemokrasi. Golput termasuk cara memanfaatkan hak pilih, yaitu hak untuk tidak memilih. Memaksa orang lain untuk memilih adalah hal yang sangat konyol dan melanggar hak asasi. Barang siapa golput pasti memiliki alasan yang unik. Apa jadinya jika Anda dipaksa untuk memakan telur busuk? Atau disuruh menginjak mata pisau yang sangat tajam? Anda mau?

Golput merupakan bentuk pelampiasan kekecewaan, kehabisan kepercayaan, atau kebencian terhadap pemerintahan yang konyol. Jujur, ada banyak hal konyol di negara ini. Tidak perlu diceritakan. Tapi sebagai contoh sepele, kita bisa lihat orang-orang berpendidikan tinggi yang memajang muka mereka di pinggir jalan lengkap dengan gelar, pangkat, dan marganya. Alih-alih menjadi calon wakil rakyat. Konyolnya mereka memajangnya tanpa memperhatikan estetika. Sangat tidak enak dipandang seperti gambar di bawah ini.



Saya pernah mengkritik banner-banner caleg yang sangat mengganggu pemandangan lewat layanan SMS aspirasi milik Kalteng Pos. Sayang sekali, Kalteng Pos tidak menerbitkan SMS saya tersebut tanpa alasan yang jelas. Mungkin isinya melanggar kode etik. Tapi pihak Kalteng Pos sendiri tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai panduan menyampaikan aspirasi. Lalu saya mengira-ngira bahwa Kalteng Pos malu jika memposting SMS karena ada pihak dari Kalteng Pos yang ikut mencalonkan diri. Jujur saya sangat kecewa waktu itu. Saya berjanji untuk tidak membeli dan membaca koran yang katanya terbesar di Kalteng.

Ini zamannya media sosial digital. Facebook dapat dimanfaatkan untuk menggaet banyak kalangan. Twitter juga memiliki fungsi yang efektif dan efisien untuk berkampanye tanpa mengeluarkan biaya. Keuntungan menggunakan media sosial yaitu tidak perlu mengeluarkan biaya dan tenaga. Terkesan modern bukan? Sayangnya para calon wakil rakyat kita adalah orang-orang jadul yang senang berbuat lebay. Memajang banner atau baliho yang besar di tempat yang sekiranya dilewati banyak orang. Tidak peduli apakah orang akan risih ketika melihatnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka tidak mampu bertanggung jawab dari hal yang benar-benar sepele.

Harap dicatat bahwa saya tidak berusaha membujuk Anda untuk golput. Semua orang bebas berekspresi. Pilihan memang menentukan masa depan, entah masa depan yang cerah atau masa depan yang suram. Golput berada di antaranya. Tidak memberi dampak positif atau negatif. Tetapi sebagiannya menganggap bahwa golput adalah tindakan orang bodoh. Terserahlah! Kebodohan saya tidak akan dibagikan kepada siapapun.

Jika Anda memiliki kepercayaan dan yakin terhadap calon sehingga memberikan manfaat yang nyata dalam kehidupan Anda kelak, maka pilih dia. Jangan golput. Okay, silahkan memberi tanggapan.

Postingan populer dari blog ini

Manfaat Teknologi Informasi dan Komunikasi di Bidang Ekonomi

Sistem Pendukung Manajemen

Kalakai (Stenochlaena palustris)