Hakikat, Konfigurasi, dan Azas Ekonomi Islam

1. Hakikat Ekonomi Islam


Pada hakikatnya ekonomi Islam adalah metamorfosa nilai-nilai Islam dalam ekonomi dan dimaksudkan untuk menepis anggapan bahwa Islam adalah agama yang hanya mengatur persoalan ubudiyah atau komunikasi vertikal antara manusia (makhluk) dengan Allah (khaliq)nya.

Dengan kata lain, kemunculan ekonomi Islam merupakan satu bentuk artikulasi sosiologis dan praktis dari nilai-nilai Islam yang selama ini dipandang doktriner dan normatif. Dengan demikian, Islam adalah suatu dien (way of life) yang praktis dan ajarannya tidak hanya merupakan aturan hidup yang menyangkut aspek ibadah dan muamalah sekaligus, mengatur hubungan manusia dengan rabb-nya (hablum minallah) dan hubungan antara manusia dengan manusia (hablum minannas).

Ilmu ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai suatu cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka yang seirama dengan maqasid syariah yaitu menjaga agama (li hifdz al din), jiwa manusia (li hifdz al nafs), akal (li hifdz al 'akl), keturunan (li hifdz al nasl), dan menjaga kekayaan (li hifdz al mal) (Syatibi, tt. 12) tanpa mengekang kebebasan individu (Chapra, 2001).

Salah satu definisi yang mengakomodasi unsur-unsur maqasyid asy syariah di atas adalah definisi ekonomi Islam yang dirumuskan Yusuf al Qardhawi. Ia mengatakan ekonomi Islam memiliki karakteristik tersendiri. Dan keunikan peradaban Islam yang membedakannya dengan sistem ekonomi lain. Ia adalah ekonomi rabbaniyah, ilahiyah (berwawasan kemanusiaan), ekonomi berakhlak, dan ekonomi pertengahan.

Sebagai ekonomi ilahiyah, ekonomi Islam memiliki aspek transendensi yang sangat tinggi suci (holy) yang memadukannya dengan aspek materi, dunia (profanitas). Titik tolaknya adalah Allah dan tujuannya untuk mencari fadl Allah melalui jalan (thariq) yang tidak bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh Allah.

Ekonomi Islam seperti dikatakan oleh Shihab (1997) diikat oleh seperangkat nilai iman dan ahlak, moral etik bagi setiap aktivitas ekonominya, baik dalam posisinya sebagai konsumen, produsen, distributor, dan lain-lain maupun dalam melakukan usahanya dalam mengembangkan serta menciptakan hartanya.

Sebagai ekonomi kemanusiaan, ekonomi Islam melihat aspek kemanusiaan (humanity) yang tidak bertentangan dengan aspek ilahiyah. Manusia dalam ekonomi Islam merupakan pemeran utama dalam mengelola dan memakmurkan alam semesta disebabkan karena kemampuan manajerial yang telah dianugerahkan Allah kepadanya.

Artinya, Allah telah memuliakan anak Adam dan mendesainnya untuk menjadi khalifah di muka bumi. Dengan desain itu pula Allah menyertakan kepada manusia orientasi spiritual (ruh al ilahiyat) sebagai aspek yang sangat fundamental dalam diri manusia yang disebut dengan fitrah manusia sebagai "al makhluk al hanief" atau mahluk oleh Syed Heidar Nawab Naqvi (1981) disebut "Teomorfis".

Manusia sebagai manajer yang diberi mandat untuk memakmurkan dunia beserta isinya di dalam perspektif ekonomi Islam telah diberi jalan terbaik untuk merealisasikan potensi dan fitrahnya sebagai makhluk teomorfis dalam aspek ekonomi dengan selalu bersandar pada nilai moral dan spiritual.

Atas dasar maksud tersebut ekonomi Islam tidak mengizinkan adanya marginalisasi atau alienasi spiritual lantaran aspek material.

Sebagai ekonomi pertengahan, ekonomi Islam dalam istilah Rahardjo (1993) disebut sistem ekonomi yang mendayung antara dua karang, kapitalisme dan sosialisme. Tapi itu bukan kapitalisme yang mengkultuskan kebebasan dan kepentingan individu secara mutlak dalam kepemilikan. Bukan pula sosialisme yang mematikan kreativitas individual lantaran adanya prinsip sama rata dan sama rasa (Qardhawi, 1995, 25).


2. Konfigurasi Ekonomi Islam


Dengan cakupan dasar yang terkandung dalam ekonomi Islam tersebut, maka konfigurasi ekonomi Islam diibaratkan sebagai bangunan yang tersusun dari beberapa unsur yang saling menguatkan. Unsur-unsur yang dimaksud meliputi tauhid, 'adl, nubuwwah, khilafah, dan ma'ad yang disanggah secara lebih kuat oleh tiga tiang penyangga (multitype ownership, freedom to act, social justice), serta dengan satu atap (akhlaq).

2.1. Tauhid (Keesaan Tuhan)

Secara umum tauhid dipahami sebagai sebuah ungkapan keyakinan (sahadat) seorang muslim atas keesaan Tuhan. Istilah tauhid dikonstruksi dari kata wahada yang secara etimologi berarti satu (esa) yaitu dasar kepercayaan yang menjiwai manusia dan seluruh aktivitasnya. Hans Wehr (1980, 1054) menulis beberapa arti dari kata tauhid, di antaranya: to be alone. Tauhidullah, berarti "to declare God to be one, to profess belief in the unity of God".

Konsep tauhid berisikan kepasrahan (taslim) manusia kepada Tuhannya, dalam perspektif yang lebih luas, konsep ini merefleksikan adanya kesatuan (unity/al wihdat), yaitu kesatuan kemanusiaan (unit of mankind), kesatuan penciptaan (unit of creation) dan kesatuan tuntunan hidup (unity of guidance) serta kesatuan tujuan hidup (unit of purpose of life).

Prinsip atas ketuhanan Allah memberikan pemahaman dan pengakuan adanya transendensi atau aspek metafisik. Dalam Islam apa yang nampak merupakan satu-kesatuan yang saling berkelindan. Interaksi antara keduanya berimplikasi pada kerangka epistemologis yang tidak menolak aspek-aspek metafisik.

Tauhid merupakan fondasi ajaran Islam. Dengan tauhid, manusia menyaksikan bahwa "Tiada sesuatu apapun yang layak disembah selain Allah." Karena Allah adalah pencipta alam semesta dan seisinya dan sekaligus pemiliknya, bahkan jiwa manusia sekalipun ada dalam genggaman kekuasaanNya.

Untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, maka manusia harus meyakini bahwa ia sendirilah sang pencipta yang memberikan wujud kepada segala sesuatu, sang sebab ultim segala yang ada.

Untuk memasukkan persaksian semacam itu dengan bebas dan penuh keyakinan, dengan sepenuh pemahaman terhadap isinya, berarti kesadaran yang melingkupi kita, baik benda atau peristiwa, yang terjadi pada medan alami, sosial, maupun psikologis, adalah perbuatan Tuhan.

Sekali terjadi pemahaman semacam itu akan menjadi hakikat kedua bagi manusia, yang terpisahkan darinya selama ia hidup. Seorang akan menjalani hidup di bawah bayang-bayangNya. (Al-Faruqi, 1986, 91). Karena itu, Allah adalah pemilik hakiki. Manusia hanya diberi amanah untuk "memiliki" untuk sementara waktu, sebagai ujian bagi mereka.

Ekonomi sebagai sebuah ilmu yang dijadikan mediasi dalam memenuhi kebutuhan (hajat) manusia, baik kebutuhan primer (hajat al asasiyat/basic needs), kebutuhan sekunder (hajat al dharuritat) maupun kebutuhan pelengkap (hajat al tahsiniyat), melibatkan interaksi antara aspek metafisik dan aspek fisik. Kegiatan ekonomi (bisnis) dalam perspektif tauhid dilandasi oleh prinsip-prinsip ilahiyah yang bermuara pada kesejahteraan lahir dan batin manusia.

2.2. 'Adl (Keadilan)

Meskipun keadilan bukan khasanah tunggal dalam Islam melampaui meta konsep dalam ideologi kapitalisme maupun lainnya (Chapra, t.t; Amitai, 1999 dan Frondizi, 2001).

Keadilan, pada tataran konsepsional-filosopis menjadi sebuah konsep universal yang ada dan dimiliki oleh semua ideologi, ajaran setiap agama dan bahkan ajaran berbagai aliran filsafat moral.

Keadilan dalam kapitalisme didasarkan pada spirit laissez faire dan laissez passer-nya, yang memberikan kebebasan kepada mekanisme pasar untuk mengatur dirinya sendiri dengan berdasar pada hukum supply and demand.

Hukum ini mengatur kegiatan ekonomi masyarakat secara paling rasional dan karena itu dapat menciptakan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi masyarakat (Rais, 1999).

Dalam tataran praksisnya, sistem pasar bebas hanya membuka pintu terakumulasinya kekayaan bagi segelintir kaum kapital (pemilik modal). Akibatnya keserakahan, individualisme dan egoisme meningkat tajam.

Sosialisme sendiri yang menyuarakan dirinya tampil menjadi dewa penyelamat bagi keserakahan, egoisme, dan individualisme serta menjadi pencegah atas kesenjangan sosial yang dialami masyarakat akibat hukum akumulasi kapital. Namun kelemahan sosialisme terletak pada penghilangan human motives dan human incentives (Rais, 1999).

Kreativitas individu dikontrol dan dimanipulasi oleh negara untuk dibagi-bagi sama rata dan sama rasa kepada semua warga masyarakat. Akibatnya tidak ada distingsi yang tajam antara yang kreatif dan yang tumpul (Muhammad, 2007).

Dalam khazanah Islam, keadilan yang dimaksud adalah "keadilan ilahi", yaitu keadilan yang tidak terpisah dari moralitas, didasarkan pada nilai-nilai absolut yang diwahyukan Tuhan dan penerimaan manusia terhadap nilai-nilai tersebut merupakan suatu kewajiban (QS. Al Maidah/5:8, 42).

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Rasa keadilan dan upaya perealisasiannya bersumber dari substansi, dari mana manusia tercipta. Tidak peduli betapa ambigu atau kaburnya makna keadilan baik ditinjau dari segi filosofis, teologis, ekonomi, maupun hukum di kepala kita, jiwa kita yang paling dalam memiliki rasa keadilan yang menyinari kesadaran kita, dan api yang membara di hati kita mendesak kita untuk hidup dengan adil, melaksanakan keadilan dan melindungi apa yang kita pandang adil (Nasr, 2003, 287).

2.3. Nubuwwah (Kenabian)

Karena rahman, rahim dan kebijaksanaan Allah, manusia tidak dibiarkan begitu saja tanpa mendapat bimbingan. Karena itu diutuslah para nabi dan rasul untuk menyampaikan petunjuk dari Allah kepada manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar di dunia, dan mengajarkan jalan untuk kembali (taubah) ke asal-muasal.

Fungsi rasul adalah untuk menjadi model terbaik yang harus diteladani manusia agar mendapat keselamatan di dunia dan di akhirat. Untuk umat muslim, Allah telah mengirimkan "manusia model" yang terakhir dan sempurna untuk diteladani sampai akhir zaman, Nabi Muhammad s.a.w.

Sifat-sifat utama sang model yang harus diteladani oleh manusia pada umumnya dan pelaku ekonomi dan bisnis pada khususnya, adalah sifat siddiq (jujur), amanah (bertanggung jawab), fathonah (kemampuan), dan tabligh (menyampaikan).

2.4. Khilafah (Pemerintahan)

Dalam Islam, pemerintahan memainkan peranan yang kecil tetapi sangat penting dalam perekonomian. Peran utamanya dalah untuk menjamin perekonomian agar berjalan sesuai dengan syariah, dan untuk memastikan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi. Semua ini dalam rangka mencapai maqashid asy syariah (tujuan-tujuan syariah) sebagaimana disinggung di atas.

2.5. Ma'ad (Hasil)

Ma'ad diartikan juga sebagai imbalan/ganjaran. Implikasi nilai ini dalam kehidupan ekonomi dan bisnis misalnya, diformulasikan oleh imam Al-Ghazali yang menyatakan bahwa motivasi para pelaku bisnis adalah untuk mendapatkan laba, baik laba material (tangible) maupun laba non-material (intangible).


3. Azas-azas Ekonomi Islam

Ekonomi Islam pada prinsipnya memiliki sejumlah azas tertentu. Namun sejumlah penulis ekonomi Islam mengemukakan tiga azas, yaitu: (1) mekanisme pemerolehan dan kepemilikan harta (al-milkiyah); (2) mekanisme pengelolaan kepemilikan harta (tasharruf fil milkiyah); (3) distribusi harta kekayaan di tengah masyarakat (tauzi'ul tsarwah bayna an-naas).

=====
Sumber:
Muhammad, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu), 2007, halaman 1--14.
=====



Untuk lebih jelasnya, silahkan beli buku di atas di toko buku terdekat (jika tersedia). Usahakan untuk tidak salin-tempel dari situs/blog.

Postingan populer dari blog ini

Manfaat Teknologi Informasi dan Komunikasi di Bidang Ekonomi

Sistem Pendukung Manajemen

Kalakai (Stenochlaena palustris)